Menghitung PPh Pasal 21 Pegawai Menggunakan Metode Weighted Average, Sesuai Aturan kah?


MAKALAH PERPAJAKAN 1
MENGHITUNG PPH PASAL 21 PEGAWAI MENGGUNAKAN METODE WEIGHTED AVERAGE, SESUAI ATURAN KAH?



Oleh :
Xena Legina        2017011022

PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS HUMANIORA DAN BISNIS
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA
2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Menghitung PPh Pasal 21 Pegawai Menggunakan Metode Weighted Average, Sesuai Aturan kah?” dengan tepat waktu tanpa kekurangan apa pun. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Perpajakan 1 di Universitas Pembangunan Jaya.
Maksud dan tujuan saya membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan 1 dan untuk menambah serta memperluas wawasan saya dan teman-teman dalam hal perpajakan khususnya mengenai PPh Pasal 21 beserta metode yang digunakan.
Dalam penulisan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Selain itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu saya, Ibu Agustine Dwianika, S.E, M. Ak, CMA dan juga memperoleh data Tax Center Universitas Pembangunan Jaya. Dan juga tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada tim Kelompok V Kelas Perpajakan 1 Tahun Angkatan 2017, atas teamwork yang baik serta ide-ide yang luar biasa, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Tangerang Selatan, April 2018
Penyusun

Xena Legina





DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan................................................................................................................................. 1
   1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................. 1
   1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................................... 2
   1.3 Tujuan........................................................................................................................................... 3
   1.4 Manfaat......................................................................................................................................... 3
Bab II Landasan Teori........................................................................................................................... 4
   2.1 Pengertian Pajak........................................................................................................................... 4
   2.2 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.............................................................................. 7
   2.3 Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.................................................................................... 8
   2.4 Kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.............................................................................. 10
   2.5 Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.............................................................................. 11
   2.6 Penghasilan Apa Saja yang Dipotong
         PPh Pasal 21 (Objek Pajak.......................................................................................................... 15
   2.7 Cara Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.................................................................. 18
   2.8 Konsep Metode Weighted Average............................................................................................. 21
   2.9 Penggunaan Metode Forecasting
         Dalam PER-32/PJ/2015.............................................................................................................. 26
   3.0 Studi Kasus dan Perhitungan...................................................................................................... 28
Bab III Metode Penelitian ................................................................................................................... 32
   3.1 Jenis Penelitian............................................................................................................................ 32
   3.2 Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................................................... 32
   3.3 Metode Pengumpulan Data......................................................................................................... 32
3.3.1 Dokumentasi................................................................................................................... 33
3.3.2 Studi Literatur................................................................................................................. 33
3.3.3 Kualitatif..........................................................................................................................33
   3.4  Metode Analisis Data................................................................................................................ 34
Bab IV Penutup....................................................................................................................................35
   4.1 Kesimpulan................................................................................................................................ 35
Daftar Pustaka..................................................................................................................................... 37



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
        Di Indonesia, pajak memiliki peran yang sangat dominan karena 85,6% Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) negara Indonesia berasal dari pajak. (Kementrian Keuangan. APBN 2017). Dari Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) inilah mulai dialokasikan menjadi berbagai sektor di antaranya sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan dan keamanan dan lain sebagainya. Pengalokasian tersebut ditujukan agar masyarakat dapat merasakan manfaat yang diberikan oleh pajak itu sendiri.
    Pajak menjadi sumber penerimaan negara Indonesia yang berguna untuk memutar roda pemerintahan, menstabilkan perekonomian negara serta mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pajak terdiri dari dua jenis, yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak – Kementrian Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
       Pajak penghasilan memiliki banyak jenis, salah satunya yaitu PPh 21 yang akan dibahas lebih mendalam melalui makalah ini. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukannya. PPh Pasal 21 merupakan salah satu jenis pajak yang dipungut Negara melalui mekanisme pemotongan (witholding tax). Kewajiban untuk melakukan pengadministrasian pemotongan PPh Pasal 21 dari penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak berada di pihak pemberi kerja sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan, termasuk Bentuk Usaha Tetap. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 umumnya akan terjadi setiap bulan minimal atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap.
       Penghitungan PPh Pasal 21 sendiri memiliki tingkat kompleksitas yang cukup tinggi karena selain diperhadapkan dengan tarif yang beragam, Pemotong PPh Pasal 21 juga harus memperhatikan kondisi subjektif dan objektif, metode pemotongan, ataupun terkait metode penghitungan PPh Pasal 21. Terkait dengan metode penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap, ada 2 (dua) metode yang banyak digunakan oleh pihak pemotong yaitu Metode Forecasting (perkiraan) atau Metode Weighted Average (running system). Kedua metode tersebut memilki perbedaan terkait cara menghitung PPh Pasal 21 Pegawai Tetap.
          Pembahasan berikut akan mengkaji legalitas penggunaan Metode Weighted Average yang perlu dipahami agar pihak pemotong tidak salah dalam melakukan penghitungan PPh 21 pegawai tetap yang dapat menyebabkan timbulnya sanksi perpajakan, terlebih jika pemotong memperhatikan aturan terkait Pengawasan Pembayaran masa sebagaimana tertuang dalam SE - 27/PJ/2012 Tentang Pengawasan Pembayaran Masa.

1.2       Rumusan Masalah
            1.2.1   Apa yang dimaksud dengan Pajak dan manfaatnya bagi masyarakat di Indonesia?
1.2.2   Apa yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21?
1.2.3   Siapa saja subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21?
1.2.4   Apa saja kebijakan Penghasilan (PPh) Pasal 21?
1.2.5   Siapa pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21?
1.2.6   Penghasilan apa saja yang dipotong PPh Pasal 21 (Objek Pajak)?
1.2.7   Bagaimana cara perhitungan PPh Pasal 21?
            1.2.8   Apa yang dimaksud dengan Metode Forecasting dan Metode Weighted Average?
1.2.9  Apakah Metode Weighted Average sesuai jika diterapkan dalam menghitung PPh Pasal 21 pegawai?

1.3       Tujuan
1.3.1   Untuk mengetahui apa itu Pajak dan manfaatnya bagi masyarakat di Indonesia.
1.3.2   Untuk mengetahui apa itu Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
1.3.3   Untuk mengetahui siapa saja subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
1.3.4   Untuk mengetahui apa saja kebijakan Penghasilan (PPh) Pasal 21?
1.3.5   Untuk mengetahui siapa pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
1.3.6   Untuk mengetahui penghasilan apa saja yang dipotong PPh Pasal 21 (Objek Pajak PPh Pasal 21).
1.3.7   Untuk mengetahui bagaimana cara perhitungan PPh Pasal 21.
1.3.8  Untuk mengetahui metode apa saja yang digunakan dalam menghitung PPh Pasal 21 khususnya untuk pegawai.
1.3.9   Untuk mengetahui apakah Metode Weighted Average sesuai jika diterapkan dalam menghitung PPh Pasal 21 pegawai.

1.4       Manfaat
1.4.1   Dapat memahami Pajak dan manfaatnya bagi masyarakat di Indonesia.
1.4.2   Dapat memahami Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 secara lebih mendalam.
1.4.3   Dapat memahami siapa saja subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
1.4.4   Dapat memahami apa saja kebijakan Penghasilan (PPh) Pasal 21.
1.4.5   Dapat memahami siapa pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
1.4.6   Dapat memahami penghasilan apa saja yang dipotong PPh Pasal 21 (Objek Pajak PPh Pasal 21).
1.4.7   Dapat memahami bagaimana cara perhitungan PPh Pasal 21.
1.4.8   Dapat memahami metode apa saja yang digunakan dalam menghitung PPh Pasal 21 khususnya untuk pegawai.
1.4.9   Dapat memahami apakah Metode Weighted Average sesuai jika diterapkan dalam menghitung PPh Pasal 21 pegawai.





BAB II
LANDASAN TEORI

2.1       Pengertian Pajak
       Menurut UU KUP Pasal 1 ayat 1 (UU No. 28 Tahun 2007), Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pojok Pajak Wiki. Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan).
   Sedangkan pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., dalam buku “ Teori Perpajakan dan Kasus” mengemukakan bahwa:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.“ Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut : “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.“ (Bagus Raharjo. Pajak: Definisi, Fungsi, Unsur, Asas, Jenis, 2016).
       Lima unsur pokok dalam definisi pajak pajak adalah:
1.      Iuran/pungutan dari rakyat kepada negara,
2.      Pajak dipungut berdasarkan undang-undang,
3.      Pajak dapat dipaksakan,
4.      Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi, dan
5.      Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara (pengeluaran umum pemerintah).
       Ciri-ciri pajak yang terdapat dalam pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1.   Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2.   Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak).
3.    Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4.   Tidak dapat ditunjukan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak.
5.   Berfungsi sebagai budgeter atau mengisi kas negara/anggaran negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial  (fungsi mengatur / regulatif). (Maksum Priangga, Pengertian Dasar dan Ciri-Ciri Pajak – Definisi Pajak, 2009).
       Seperti yang kita ketahui Kementrian Keuangan Republik Indonesia mengamanatkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengelola perpajakan di Indonesia. Kontribusi penerimaan negara dari sektor pajak sangat dominan di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang mencapai 85,6% dari APBN di tahun 2017. (Kementrian Keuangan. APBN 2017). Dari Anggaran Penerimaan Belanja Negara inilah mulai dialokasikan menjadi berbagai sektor di antaranya sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan dan keamanan dan lain sebagainya. Pengalokasian tersebut ditujukan agar masyarakat dapat merasakan manfaat yang diberikan oleh pajak itu sendiri.

Apa Saja Manfaat Pajak bagi Masyarakat Indonesia?
      Tanpa kita sadari seluruh lapisan masyarakat akan merasakan, dan menikmati manfaat dari adanya pajak. Bahkan warga negara asing yang sedang berada di Indonesia pun dapat merasakan hal tersebut. Ini merupakan bentuk pelaksanaan sila Pancasila yang kelima, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Selain itu, hal ini juga merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
      Jika kita taat membayar pajak, maka kita dapat merasakan seluruh fasilitas umum yang telah diberikan oleh negara. Contohnya seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, subsidi pangan, bahan bakar minyak, dana pemilu, senjata, dan lain sebagainya. Dari segi infrastruktur pun masih banyak hal yang sedang diraih oleh pemerintah Indonesia, seperti 52 proyek jalan tol, 13 proyek pelabuhan, 17 proyek bandara, 49 proyek waduk atau bendungan, 19 proyek jalur kereta, proyek 1 juta rumah murah, Rp47 triliun dana desa, distribusi kepada 18 juta jiwa penerima KIP (Kartu Indonesia Pintar), dan lain sebagainya (Harris Darmawan. Infografis: Membangun Negeri Indonesia dengan Pajak, 2017). Semakin banyak pajak yang dipungut, maka semakin banyak pula fasilitas dan infrastruktur yang diberikan dan dibangun oleh negara. Secara tidak langsung, kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak berpengaruh besar dalam pembangunan di Indonesia.

Apa Itu Pembangunan? Seberapa Pentingnya Infrastruktur dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia?
   Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”.  Infrastrukur berperan penting dalam hal pembangunan ekonomi, karena pembangunan inilah yang akan menjadi salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tanpa adanya pembangunan infrastruktur maka negara tidak bisa bersaing dengan negara lain, dan masyarakat pun tidak dapat merasakan kesejahteraan sehingga masyarakat bertanya-tanya, “Lari ke manakah pajak yang selama ini kita bayarkan?”
      Seperti yang kita ketahui bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat Indonesia dalam membayar pajak masih rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu banyak dari mereka yang tidak percaya dengan undang-undang perpajakan, lalu mereka tidak mengerti bagaimana cara melaporkan dan membayarkannya, atau mungkin karena mereka merasa bahwa uang yang mereka berikan disalahgunakan oleh negara sehingga tidak bermanfaat dan tidak dapat mensejahterakan masyarakat umum. Hal inilah yang menghambat pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal inilah yang membuat Indonesia sulit untuk bersaing dan menjadi bangsa yang maju.
   Maka dari itu, pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya peranan dan manfaat pajak, dengan cara memberikan edukasi atau pemahaman dan sosialisasi yang berkelanjutan mengenai pajak, baik melalui media sosial, media massa, atau pun media elektronik.

2.2       Pengertian Pajak Penghasian (PPh) Pasal 21
      Menurut Siti Resmi (2009:167), Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. (Aliem Act. Berbagi Ilmu: Pengertian Umum Perpajakan, 2013).
       Sedangkan menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri. (Dian Puspa. Online Pajak. PPh Pasal 21 (Pajak Penghasilan Pasal 21).

2.3       Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
      Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 31/PJ/2009, yang di maksud  subjek pajak PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:
1)     Pegawai.
2)   Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
3)   Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
a)   Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
b)   Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan atau peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
c)      Olahragawan.
d)     Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
e)      Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
f)  Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya,  telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.
g)      Agen iklan.
h)      Pengawas atau pengelola proyek.
i)        Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara.
j)        Petugas penjaja barang dagangan.
k)      Petugas dinas luar asuransi.
l)        Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
4)  Kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:
a)    Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan,  ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya.
b)      Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja.
c)      Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu.
d)     Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
e)      Peserta kegiatan lainnya.

       Pengecualian dari Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21/PPh Pasal 26:
a)   Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b)   Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. (Bayu Dirgantara. PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, 2011).

2.4       Kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
       Dasar hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21, yaitu:
a)  Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
b)  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
c)   Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
d)  Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
e)   Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
f)     Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak.
g)   Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. (diambil dari Tax Center Universitas Pembangunan Jaya).

2.5       Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
       Pemotong PPh pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh UU adalah:
a)    Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
b) Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.
c)  Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja dan badan – badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d)     Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
  • Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
  • Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri.
  • Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan dan magang.
e)  Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

       Pengecualian dari Pemotong Pajak:
a)      Kantor perwakilan negara asing,
b)      Organisasi-organisasi internasional sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
c)   Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang  semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
      Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak.

       Hak dan kewajiban pemotong pajak adalah sebagai berikut:
  1. Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
  2. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT Tahunan dengan PPh 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
  3. Pemotong pajak berhak membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
  4. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil Kurang Bayar.
  5. Pemotong Pajak berhak mengajukan permononan banding secara tertulis dalam dengan alasan yang jelas kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding ini dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut.
  6. Pemotong pajak dapat mengajukan permohonan untuk mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pasal 21. Permohonan diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai perhitungan sementara PPh 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan.
  7. Setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Kewajiban sebagai pemotong pajak berlaku juga terhadap organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
  8. Pemotong pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
  9. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau Bank-bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.
  10. Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh 21, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
  11. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerimaan uang tembusan pensiun, penerimaan Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
  12. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti pemotongan diberikan oleh pemberi pekerja selambat-lambatnya 1 bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
  13. Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerimaan pensiun bulanan menurut tarif yang berlaku.
  14. Setiap pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan PPh 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahun PPh 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi pemotong pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim.
  15. Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh 21 yang berutang apabila jumlah PPh 21 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar daripada PPh 21 yang telah disetor. Penyetoran tersebut harus dilakukan sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh 21 selambat-lambatnya pada tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya.
  16. Pemotong pajak wajib melampiri SPT Tahunan PPh 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh 21 untuk Tahun Pajak yang bersangkutan. (Dony Hasibuan, Siapa saja Pemotong PPh 21, Apa Hak dan Kewajibannya?, 2013).

2.6       Penghasilan Apa Saja yang Dipotong PPh Pasal 21 (Objek Pajak)
       Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a)  Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b)  Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c)    Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua dan pembayaran lain jenis;
d)    Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e)  Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
f)   Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
      Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
a)      Bukan Wajib Pajak;
b)     Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
c)     Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

       Pengecualian dari Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21:
a)   Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
b)  Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah;
c)   Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
d)     Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e)      Beasiswa. (Bayu Dirgantara. PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, 2011)

       Hak dan Kewajiban Penerima Penghasilan:
  1. Wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  2. Wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada pemotong pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
  3. Menerima bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir dari pemberi kerja. atau jika berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 harus diperoleh dari pemberi kerja paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja. Bagi selain Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala, menerima bukti pemotongan setiap kali menerima penghasilan.
  4. Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. (Pajakku, Pemotongan PPh Pasal 21, 2016).

2.7       Cara Perhitungan Pajak Penghasilan PPh pasal 21
a)      Perhitungan Perubahan PTKP Terbaru Tahun 2016 :
PTKP 2016 Wajib Pajak Tidak Kawin (TK)
Uraian
Status
PTKP
Wajib Pajak 
TK0
54.000.000,-
Tanggungan 1
TK1
58.500.000,-
Tanggungan 2
TK2
63.000.000,-
Tanggungan 3
TK3
67.500.000,-

PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin
Uraian
Status
PTKP
WP Kawin
K0
58.500.000,-
Tanggungan 1
K1
63.000.000,-
Tanggungan 2
K2
67.500.000,-
Tanggungan 3
K3
72.000.000,-

PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin, penghasilan istri dan suami digabung
Uraian
Status
PTKP
WP Kawin
K/I/0
112.500.000,-
Tanggungan 1
K/I/1
117.000.000,-
Tanggungan 2
K/I/2
121.500.000,-
Tanggungan 3
K/I/3
126.000.000,-

Catatan: 
·                     Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang
·                     TK : Tidak Kawin
·                     K : Kawin
·                     K/I : Kawin dan penghasilan pasangan digabung
(Master Training. Cara Perhitungan PTKP Terbaru 2018, 2018)

b)      Tarif pajak
PKP (Penghasilan Kena Pajak)
Tarif
Sampai dengan Rp50.000.000
5%
Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000
15%
Rp250.000.000 sampai dengan Rp500.000.000
25%
Diatas Rp500.000.000
30%

(Finansialku. PPh Pasal 17 (Pajak Penghasilan Pasal 17) Tarif, Cara Hitung dan Pelaporannya, 2017).


c)      Perhitungannya:
- Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP yang lama (selama bulan Januari – Juni 2016):
      Andi Ahmad pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Abadi Selamat dengan memperoleh gaji sebulan Rp 5.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Andi menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Gaji sebulan                                                                               Rp 5.000.000,00
Pengurangan :
1.Biaya Jabatan : 5% x Rp 5.000.000    Rp 250.000,00
2.Iuran pensiun                                      Rp 100.000,00 (+)                                                                                                                                                                           Rp 350.000,00 (-)
Penghasilan Netto Sebulan                                                         Rp 4.650.000,00
Penghasilan Netto Setahun adalah 12 x Rp 4.650.000,00 = Rp 55.800.000,00
PTKP setahun
– untuk WP sendiri                             Rp 36.000.000,00
– tambahan WP kawin                        Rp 3.000.000,00 (+)               
Rp 39.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak setahun                                             Rp 16.800.000,00
PPh Pasal 21 terutang :
5% x Rp 16.800.000,00 = Rp 840.000,00
PPh Pasal 21 sebulan :
Rp 840.000,00 : 12 = Rp 70.000,00

- Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP yang baru (selama tahun 2016):
      Andi Ahmad pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Abadi Selamat dengan memperoleh gaji sebulan Rp 5.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Andi menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan                                                                            Rp 5.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan : 5% x Rp 5.000.000,00       Rp 250.000,00
2. Iuran pensiun                                              Rp 100.000,00 (+)      
Rp350.000,00 (-)
Penghasilan Netto Sebulan                                                     Rp 4.650.000,00
Penghasilan Netto Setahun adalah 12 x Rp 4.650.000,00 = Rp 55.800.000,00
PTKP setahun
– untuk WP sendiri                 Rp 54.000.000,00
– tambahan WP kawin            Rp 4.500.000,00 (+)                Rp 58.500.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak setahun                                             Rp 0,00
PPh Pasal 21 terutang :
5% x Rp 0,00 = Rp 0,00
PPh 21 Masa Januari – Desember 2016 terutang = Rp. 0,00
PPh 21 Masa Januari – Juni 2016 yang telah disetor = Rp. 420.000,00

     Terdapat Lebih bayar PPh 21 tahun 2016 sebesar Rp. 420.000,00, dan jika atas lebih bayar tersebut perlakuannya sama dengan lebih bayar yang timbul karena kenaikan PTKP 2015, maka atas lebih bayar tersebut dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya/tahun 2017.

2.8       Konsep Metode Weighted Average
      Metode penyetahunan Weighted Average disebut juga Running System, dimana penghitungan PPh Pasal 21 dihitung dengan mengestimasikan penghasilan berdasarkan penghasilan kumulatif. Metode ini merupakan skema yang dibentuk sedemikian rupa untuk meredam fluktuasi PPh Pasal 21. Metode ini memperhitungkan penghasilan pada bulan-bulan sebelumnya. Adapun konsep Penghitungan Metode Weighted Average adalah sebagai berikut:
  1. Bulan Januari merupakan bulan awal dalam penghitungan PPh Pasal 21 sehingga tidak memiliki komponen penghasilan dari bulan sebelumnya. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Januari sama dengan Metode Forecasting.
  2. Bulan Februari s/d Desember:
  • Memperhitungkan penghasilan pada bulan-bulan sebelumnya (dijumlahkan).
  • Memperhitungkan pengurang pada bulan-bulan sebelumnya (dijumlahkan).
  • Penghasilan Netto Setahun = Penghasilan Netto X (estimasi masa kerja/realisasi masa kerja).
  • PPh Pasal 21 sebulan = PPh Pasal 21 Setahun X (realisasi masa kerja/ estimasi masa kerja).
    Komponen
    Januari
    Februari
    Maret
    s/d bln lalu
    bln ini
    s/d bln ini
    s/d bln lalu
    bln ini
    s/d bln ini
    s/d bln lalu
    bln ini
    s/d bln ini
    Gaji Pokok
     -
    4.500.000
    4.500.000
    4.500.000
    4.500.000
    9.000.000
    9.000.000
    4.500.000
    13.500.000
    Uang Lembur
     -
    200.000
    200.000
    200.000
    200.000
    400.000
    400.000
    300.000
    700.000
    Tunjangan Kesehatan
     -
    -
    -
    -
    -
    -
    -
    -
    -
    Premi Asuransi
     -
    300.000
    300.000
    300.000
    300.000
    600.000
    600.000
    300.000
    900.000
    Tunjangan Pajak
     -
    -
    -
    -
    -
    -
    -
    -
    -
    Penghasilan Bruto
     -
    5.000.000
    5.000.000
    5.000.000
    5.000.000
    10.000.000
    10.000.000
    5.100.000
    15.100.000
    Pengurang:

    Biaya Jabatan
     -
    250.000
    250.000
    250.000
    250.000
    500.000
    500.000
    255000
    755000
    Biaya Pensiun
     -
    150.000
    150.000
    150.000
    150.000
    300.000
    300.000
    150000
    450.000
    Total Pengurang
     -
    400.000
    400.000
    400.000
    400.000
    800.000
    800.000
    405.000
    1.205.000
    Penghasilan Netto
     -
    -
    4.600.000
    4.600.000
    -
    9.200.000
    9.200.000
    -
    13.895.000
    Penghasilan Netto Setahun
     -
    -
    55.200.000
    55.200.000
    -
    55.200.000
    55.200.000
    -
    55.580.000
    PTKP
     -
    -
    48.000.000
    48.000.000
    -
    48.000.000
    48.000.000
    -
    48.000.000
    PTKP Pertahun
     -
    -
    7.200.000
    7.200.000
    -
    7.200.000
    7.200.000
    -
    7.580.000
    PPh Pasal 21 Per Tahun
     -
    -
    360.000
    360.000
    -
    360.000
    360.000
    -
    379.000
    PPh Pasal 21 Sebulan
     -
    30.000
    30.000
    30.000
    30.000
    60.000
    60.000
    34.750
    94.750
    Status K3

Penghitungan PPh Pasal 21/26 tahun 2009 dan sebelumnya
      Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21/26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi senantiasa berubah yang mengikuti ketentuan Undang-undang PPh yang bergerak dinamis. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 02/PJ./1995 hingga Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 545/PJ./2000 diterbitkan dan berlaku sebelum perubahan terakhir Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008. Ketentuan tersebut mengatur bahwa Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong dan menyetor PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim. Kemuudian, dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap/penerima pensiun bulanan dan wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan kepada pegawai tetap/penerima pensiun bulanan dengan menggunakan Formulir 1721-A1 (untuk pegawai tetap swasta) atau 1721-A2 (Untuk PNS). Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penghitungan pajak sehubungan dengan pemotongan PPh Pasal 21/26 terdiri dari dua yaitu:
  1. Perhitungan yang dilakukan setiap Masa, dan
  2. Perhitungan yang dilakukan setiap Tahun.
      Penghitungan masa bersifat cicilan pajak dilakukan setiap bulan sedangkan penghitungan tahunan merupakan pajak sesungguhnya atas seluruh penghasilan Pekerja/Pemberi Jasa (Orang Pribadi). Terkait pelaporan SPT PPh Pasal 21 terdapat form SPT Tahunan PPh Pasal 21 (1721) berfungsi sebagai sarana pelaporan kewajiban PPh Pasal 21 yang dilakukan pada akhir tahun atas kewajiban Pemotongan PPh Pasal 21/26 yang telah dilakukan setiap bulan. SPT 1721 merupakan laporan dari hasil penghitungan tahunan atau penghitungan sesungguhnya. 
    Untuk Pegawai Tetap, pihak pemotong harus menghitung ulang seluruh penghasilan yang riil diterima dalam tahun tersebut. Jika dari jumlah tersebut terjadi kurang bayar, maka harus dilakukan pembayaran PPh Pasal 21 paling lambat tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya. Sebaliknya jika ternyata lebih bayar, maka kelebihan tersebut harus diperhitungkan pada bulan-bulan lainnya dalam tahun takwim berikutnya. Pada dasarnya Metode Weighted Average ini digunakan oleh Pemotong PPh Pasal 21 untuk menyiasati agar tidak terjadi kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang dapat menyebabkan adanya pemeriksaan bagi pemotong. Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya lebih bayar ini adalah berfluktuasinya penghasilan teratur dan tidak teratur sehingga pemotong cenderung untuk membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21 nihil.

Penghitungan PPh Pasal 21/26 setelah tahun 2009
   Setelah berlakunya Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008, terjadi perubahan terkait pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21/26. Mulai diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009, membuat penghitungan PPh pasal 21 yang dilakukan setiap Tahun tidak lagi berlaku. Namun demikian, pada ketentuan ini terdapat istilah Masa Pajak terakhir yaitu masa Desember atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja. Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan. Terkait dengan pelaporan PPh Pasal 21 juga terjadi perubahan yang cukup signifikan, terutama sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 tentang ketentuan mengenai Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian Dan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada tahun pajak 2014. Salah satu issue terjadinya perubahan ini yaitu adanya kendala bagi otoritas pajak dalam melakukan pengawasan pelaporan SPT PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak (Januari s/d November) yang dilaporkan oleh pihak pemotong sesuai dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER–32/PJ/2009. PER–32/PJ/2009 memberi ruang kepada Pemotong PPh Pasal 21 melaporkan PPh Pasal 21 masa Januari s/d November bersifat gelondongan karena Formulir 1721-I pihak pemotong hanya diwajibkan untuk disampaikan pada Masa Pajak Desember, sehingga tidak ada rincian tersendiri untuk setiap masa pajak Januari s/d November.  Dalam praktiknya, ruang ini digunakan Pemotong PPh Pasal 21 melakukan penghitungan PPh 21 terutang setiap pegawai sesuai ketentuan yang diamanatkan pada lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 hanya dilakukan di Masa Pajak terakhir saja, sedangkan penghitungan setiap pegawai di Masa Januari s/d November bersifat perkiraan dengan memperhatikan dampak kurang atau lebih bayar yang akan terjadi di masa pajak terakhir. Dengan berlakunya PER-14/PJ/2013, pihak pemotong diwajibkan untuk melampirkan seluruh rincian daftar pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak dengan menggunakan Formulir 1721–I Masa Pajak bagi pegawai tetap. Hal tersebut berdampak terhadap Pemotong PPh Pasal 21 yang seharusnya melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk setiap pegawai dilakukan secara tepat sesuai ketentuan yang pada setiap Masanya. Dampak dari kekurangan bayar pajak secara agregat di SPT Masa yang bersangkutan dapat menimbulkan sanksi administrasi perpajakan.

2.9       Penggunaan Metode Forecasting dalam  PER-32/PJ/2015
     Metode Forecasting merupakan metode penghitungan PPh Pasal 21 dengan perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama satu tahun pajak. Secara implisit, metode penghitungan ini digunakan dalam contoh penghitungan PPh Pasal 21 pada lampiran PER-32/PJ/2015. Melalui PER-32/PJ/2015 kepada Wajib Pajak diharapkan dapat melakukan penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan metode perkiraan atau yang dikenal dengan Metode Forecasting. Hal ini turut ditegaskan pula dalam Pasal 14 ayat (2) PER-32/PJ/2015, yaitu:
“Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, kecuali Masa Pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.      Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) tahun bulan dikalikan 12 (dua belas); dan
b.      Dalam hal terdapat tabahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.”

   Berikut ini ilustrasi penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan Metode Forecasting yang tercantum pada lampiran PER-32/PJ/2015:
Retto pada tahun 2015 bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp3.750.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Retto menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Januari penghasilan Retto dari PT Jaya Abadi hanya dari gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari adalah sebagai berikut: 
Gaji                                                                                         Rp 3.750.000,00
Pengurangan:
1.      -Biaya Jabatan:
5%  X Rp 3.750.000,00                      Rp 187.500,00
2.     - Iuran Pensiun:                                     Rp 100.000,00
Rp 287.500,00
Penghasilan Netto Sebulan                                                     Rp 3.462.500,00
Penghasilan Netto Setahun
12 X Rp 3.462.500,00                                                            Rp 41.550.000,00
PTKP (K/0)
-  Untuk WP sendiri                             Rp 36.000.000,00
-  Tambahan karena kawin                   Rp 3.000.000,00
                                                                                                Rp 39.000.000,00
                                                                                                Rp 2.550.000,00
Penghasilan Kena Pajak Setahun
PPh Pasal 21 Terutang
            5% X Rp 2.550.000,00                       Rp 127.500,00
PPh Pasal 21 bulan Januari
            Rp 127.500,00 : 12                             Rp10.625,00

  Dari ilustrasi penghitungan PPh Pasal 21 pada lampiran PER-32/PJ/2015 diatas, terdapat penghasilan netto yang disetahunkan selama 12 bulan atau perkiraan lamanya pegawai yang bersangkutan bekerja. Ini artinya, bahwa pihak pemotong harus menggunakan estimasi atau perkiraan penghasilan selama satu tahun pajak untuk melakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas jumlah penghasilan yang dibayarkan dalam setiap masa pajak. Perkiraan penghasilan selama satu tahun dilakukan dengan menyetahunkan penghasilan netto sebulan.

3.0       Studi Kasus dan Penghitungan
   Pada tahun 2015, Budi Darmawanto bekerja pada PT Software Indonesia sebagai salah satu Marketing. Budi Darmawanto sudah menikah dan memiliki tiga orang anak (K/3). Berikut penghasilan yang diterima beserta Penghitungan PPh Pasal 21 Budi Darmawanto melalui Metode Weighted Average dan Metode Forecasting selama tahun 2015 (Besarnya PTKP sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 122/PMK.010/2015):



Tabel 1. Simulasi Penghitungan PPh Pasal 21 melalui Metode Weighted Average  dan Metode Forecasting

Bulan
Komponen Penghasilan
PPh Pasal 21
Gaji
Insentif Penjualan
Premi Asuransi
Iuran Pensiun
Weighted Average Method
Forecasting Method
Januari
4.000.000
5.000.000
300.000
150.000
286.083
286.083
Februari
4.000.000
5.000.000
300.000
150.000
286.083
286.083
Maret
4.000.000
5.000.000
300.000
150.000
286.083
286.083
April
4.000.000
5.000.000
300.000
150.000
286.083
286.083
Mei
4.000.000
5.000.000
300.000
150.000
286.083
286.083
Juni
4.000.000
10.000.000
300.000
150.000
1.004.583
1.030.833
Juli
4.000.000
10.000.000
300.000
150.000
1.030.758
1.030.833
Agustus
4.000.000
-
300.000
150.000
-464.592
-
September
4.000.000
-
300.000
150.000
-426.416
-
Oktober
4.000.000
-
300.000
150.000
-426.416
-
Nopember
4.000.000
5.000.000
300.000
150.000
286.059
286.083
Desember
4.000.000
5.000.000
300.000
150.000
286.109
-1.057.664
Total
48.000.000
55.000.000
3.600.000
1.800.000
2.720.500
2.720.500

Tabel 2. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Menggunakan Metode Weighted Average Masa Januari s/d Maret 2015
Komponen
Januari
Februari
Maret
s/d bln lalu
bln ini
s/d bln ini
s/d bln lalu
bln ini
s/d bln ini
s/d bln lalu
bln ini
s/d bln ini
Gaji Pokok
 -
4.000.000
4.000.000
4.000.000
4.000.000
8.000.000
8.000.000
4.000.000
12.000.000
Insentif Penjualan
 -
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
10.000.000
10.000.000
5.000.000
15.000.000
Premi Asuransi
 -
300.000
300.000
300.000
300.000
600.000
600.000
300.000
900.000
Penghasilan Bruto
 -
9.300.000
9.300.000
9.300.000
9.300.000
18.600.000
18.600.000
9.300.000
27.900.000










Pengurang:









Biaya Jabatan
 -
465.000
465.000
465.000
465.000
930.000
930.000
465.000
1.395.000
Biaya Pensiun
 -
150.000
150.000
150.000
150.000
300.000
300.000
150.000
450.000
Total Pengurang
 -
615.000
615.000
615.000
615.000
1.230.000
1.230.000
615.000
1.845.000










Penghasilan Netto
 -
-
8.685.000
8.685.000
-
17.370.000
17.370.000
-
26.055.000
Penghasilan Netto Setahun
 -
-
104.220.000
104.220.000
-
104.220.000
104.220.000
-
104.220.000
PTKP
 -
-
48.000.000
48.000.000
-
48.000.000
48.000.000
-
48.000.000










PKP Setahun
 -
-
56.220.000
56.220.000
-
56.220.000
56.220.000
-
56.220.000
PPh Pasal 21 Setahun
 -
-
3.433.000
3.433.000
-
3.433.000
3.433.000
-
3.433.000
PPh Pasal 21 Sebulan
 -
286.083
286.083
286.083
286.083
572.166
572.166
286.083
858.249
PPh Pasal 21 DTP
-
-
-
-
-
-
-
-
-
PPh Pasal 21 Dipotong
-
286.083
286.083
286.083
286.083
572.166
572.166
286.083
858.249


    Berdasarkan studi kasus diatas dapat terlihat bahwa terdapat persamaan hasil penghitungan PPh Pasal 21 antara Metode Weighted Average dengan Metode Forecasting dengan kondisi tidak terjadi fluktuasi penghasilan. Kemudian, mulai terdapat perbedaan khususnya untuk masa pajak dimana terjadi kenaikan atau penurunan penghasilan dari masa-masa sebelumnya. Untuk PPh Pasal 21 terutang selama satu tahun kedua metode ini akan menghasilkan nilai yang sama, hanya saja PPh Pasal 21 terutang untuk masa pajak Desember nilainya berbeda. Metode Forecasting menghasilkan lebih bayar, sementara Metode Weighted Average menghasilkan kurang bayar. Menariknya dari simulasi diatas, bahwa dengan menggunakan Metode Weighted Average dapat terlihat Penghitungan PPh Pasal 21 pada Masa Pajak Agustus s/d Oktober hasilnya negatif (lebih bayar), sementara itu pada Masa tersebut terdapat komponen gaji dan premi yang seharusnya terdapat PPh Pasal 21 kurang bayar apabila dilakukan penghitungan sesuai dengan PER-32/PJ/2015. Hal ini bisa terjadi akibat adanya fluktuasi yang cukup signifikan pada komponen penghasilan pegawai tetap dibandingkan pada masa sebelumnya. Dalam studi kasus ini, fluktuasi yang cukup signifikan terjadi pada komponen penghasilan berupa insentif penjualan Budi Darmawanto, sehingga membuat hasil penghitungan Metode Weighted Average berbeda dengan Metode Forecasting yang tetap menghasilkan PPh Pasal 21 terutang pada Masa  Pajak Agustus s/d Oktober.  Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa ketentuan Pemotongan PPh Pasal 21 menggunakan Metode Forecasting dimana setiap bulan dianggap berdiri sendiri-sendiri. Penghitungan PPh Pasal 21 tidak akan menghasilakan nilai negatif, kondisi PPh Pasal 21 negatif pada Metode Forecasting hanya terjadi pada kondisi tertentu seperti pegawai berhenti bekerja ataupun penghitungan masa pajak terakhir.  Kondisi PPh Pasal 21 negatif (lebih bayar) merupakan kondisi dimana PPh Pasal 21 terutang lebih rendah dibanding PPh Pasal 21 yang telah dipotong. Secara ketentuan, penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan Metode Weighted Average untuk kondisi diatas dimana PPh Pasal 21 terutang Metode Weighted Average pada suatu masa lebih rendah daripada Metode Forecasting jelas tidak dibenarkan. PPh Pasal 21 tetap dianggap kurang bayar. Apabila diketemukan pembayaran yang ditimbulkan adanya kesalahan penghitungan yang menyebabkan PPh Pasal 21 kurang bayarnya bertambah, Pemotong PPh Pasal 21 akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
   Jika dilihat dari figur SPT PPh Pasal 21/26, terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana sebelumnya dalam PER-32/PJ/2009 untuk penghasilan bruto dan PPh Pasal 21 yang dipotong dimasukan secara total keseluruhan tanpa merinci detail per pegawai. Sedangkan jika dilihat SPT PPh Pasal 21 yang berlaku sampai saat ini yaitu PER-14/PJ/2013 untuk penghasilan bruto dan PPh Pasal 21 yang dipotong harus dimasukan secara rinci per pegawai sehingga wajib pajak tidak dapat melakukan penginputan data secara asal. Pada contoh di atas terlihat jelas bahwa untuk suatu masa pajak (selain masa pajak terakhir) terdapat penghasilan namun PPh Pasal 21-nya negative (lebih bayar). Kondisi tidak lazim ini mempertegas bahwa penggunaan Metode Weighted Average tidak relevan lagi.
Gambar 3. Penginputan transaksi pegawai tetap dalam aplikasi e-SPT dengan PPh Pasal 21 Negatif (Lebih Bayar)

(Daniel Belianto. Weighted Average dalam Menghitung PPh Pasal 21, Tidak Sesuai Aturan?, 2016).


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1       Jenis Penelitian
     Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi literatur dengan mencari referensi teori yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang ditemukan. Referensi teori yang diperoleh dengan jalan penelitian studi literatur dijadikan sebagai fondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian di tengah lapangan. Peneitian ini juga disebut dengan penelitian non-eksperimental, yaitu penelitian yang dilakukan secara tidak langsung dan lebih mengarah kepada pengumpulan data.

3.2       Waktu dan Tempat Penelitian
     Penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan di Universitas Pembangunan Jaya, Bintaro dan di rumah penulis. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 16 April 2018 sampai tanggal 7 Mei 2018.

3.3       Metode Pengumpulan Data
     Literatur yang dipakai dalam penelitian ini didapatkan dari berbagai sumber. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari media perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan, bukti yang telah ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum. Dengan kata lain, peneliti mengumpulkan data dengan cara berkunjung ke perpustakaan, pusat kajian, pusat arsip atau membaca beberapa buku yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan, diantaranya: Data Tax Center UPJ, Perpustakaan, Jurnal-Jurnal Penelitian terdahulu, Buku-Buku Perpajakan yang peneliti jadikan referensi dalam penentuan tema, fenomena, rumusan, sampai dengan kesimpulan dari Makalah Perpajakan 1 ini.

3.3.1    Dokumentasi
     Teknik dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya (Suharsimi Arikunto, 1997 : 236).. Berdasarkan pengertian teknik dokumentasi tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan cara mencari dokumen atau data-data yang dianggap penting melalui artikel koran/majalah, jurnal, pustaka, brosur, buku dokumentasi serta melalui media elektronik yaitu internet, yang ada kaitannya dengan diterapkannya penelitian ini.

3.3.2    Studi Literatur
    Studi literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data atau sumber-sumber yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu penelitian. Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber, jurnal, buku dokumentasi, internet dan pustaka. Menurut Danial dan Warsiah Studi Literatur adalah merupakan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan sejumlah buku buku, majalah yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Teknik ini dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan berbagai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi/diteliti sebagai bahan rujukan dalam pembahasan hasil penelitian. (Srikandi Rahayu. Pengertian Studi Literatur, 2017)

3.3.3    Kualitatif
    Data yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata atau bukan dalam bentuk angka. Data ini biasanya menjelaskan karakteristik atau sifat. Sebagai contoh: kondisi barang (jelek, sedang, bagus), pekerjaan (petani, pengusaha, pedagang), tingkat kepuasan (tidak puas, puas, sangat puas), dan lain-lain. Data kualitatif terdiri dari data nominal dan ordinal.

3.4       Metode Analisis Data
    Data-data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.


BAB IV
PENUTUP

4.1       Kesimpulan
      Kementrian Keuangan Republik Indonesia mengamanatkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengelola perpajakan di Indonesia. Kontribusi penerimaan negara dari sektor pajak sangat dominan di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang mencapai 85,6% dari APBN di tahun 2017. (Kementrian Keuangan. APBN 2017). Dari Anggaran Penerimaan Belanja Negara inilah mulai dialokasikan menjadi berbagai sektor di antaranya sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan dan keamanan dan lain sebagainya. Pengalokasian tersebut ditujukan agar masyarakat dapat merasakan manfaat yang diberikan oleh pajak itu sendiri.
       Pajak terdiri dari dua jenis, yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak – Kementrian Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Pajak penghasilan memiliki banyak jenis salah satunya yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang merupakan salah satu jenis pajak yang dipungut oleh Negara melalui mekanisme pemotongan (witholding tax). Kewajiban untuk melakukan pengadministrasian pemotongan PPh Pasal 21 dari penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak berada di pihak pemberi kerja sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan, termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 umumnya akan terjadi setiap bulan minimal atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap.
       Penghitungan PPh Pasal 21 sendiri memiliki tingkat kompleksitas yang cukup tinggi karena selain diperhadapkan dengan tarif yang beragam, Pemotong PPh Pasal 21 juga harus memperhatikan kondisi subjektif dan objektif, metode pemotongan, ataupun terkait metode penghitungan PPh Pasal 21. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dapat dihitung dengan menggunakan Metode Forecasting dan Metode Weighted Average. Berdasarkan materi di atas dapat disimpulkan bahwa, penggunaan Metode Weighted Average dalam menghitung PPh Pasal 21 tidak sesuai dengan ketentuan pemotongan PPh Pasal 21/26 dan tidak relevan mengingat figur SPT PPh Pasal 21/26 menampilkan data rinci pegawai tetap yang memuat Jumlah Penghasilan Bruto dan PPh Pasal 21 Terutang. Karena Metode Weighted Average dapat menghasilkan PPh Pasal 21 terutang yang berbeda dengan Metode Forecasting. Jika dalam suatu masa penggunaan Metode Weighted Average secara agregat lebih kecil dari Metode Forecasting maka akan berpotensi timbulnya sanksi administrasi.


DAFTAR PUSTAKA

Belianto, Daniel. 2016. Weighted Average dalam Menghitung PPh Pasal 21, Tidak Sesuai Aturan?
<http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=91&list=&q=weighted%20average&hlm=1 - diakses pada 14 April 2018>
Pojok Pajak Wiki. Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.
<http://pojokpajak.wikia.com/wiki/Undang-Undang_Ketentuan_Umum_Perpajakan - diakses pada 1 Mei 2018>
Act, Aliem. 2013. Berbagi Ilmu: Pengertian Umum Perpajakan.
<http://nursalim26.blogspot.co.id/2013/12/pengertian-umum-perpajakan.html - diakses pada 1 Mei 2018>
Raharjo, Bagus. 2016. Pajak: Definisi, Fungsi, Unsur, Asas, Jenis.
<http://bagusraharjoe.blogspot.co.id/2016/05/pajak-definisi.html - diakses pada 1 Mei 2018>
Puspa, Dian. Online Pajak. PPh Pasal 21 (Pajak Penghasilan Pasal 21).
<https://www.online-pajak.com/id/pph-pajak-penghasilan-pasal-21 - diakses pada 1 Mei 2018>
Kementrian Keuangan. APBN 2017.
<https://www.kemenkeu.go.id/apbn2017 - diakses pada 1 Mei 2018>
Darmawan, Harris. 2017. Infografis: Membangun Negeri Indonesia dengan Pajak.
<https://www.finansialku.com/infografis-membangun-negeri-indonesia-dengan-pajak/ - diakses pada 1 Mei 2018>
Edi, RF. 2013. BAB III. Metode Penelitian.
<http://digilib.unila.ac.id/333/8/BAB%20III.pdf diakses pada 1 Mei 2018>
Rahayu, Srikandi. 2017. Pengertian Studi Literatur.
<http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2017/09/pengertian-studi-literatur.html - diakses pada 4 Mei 2018>
Dirgantara, Bayu. 2011. PPh pasal 21 dan PPh pasal 26.
<http://financecontroller.blogspot.co.id/2011/07/pph-pasal-21-dan-pph-pasal-21.html – diakses pada 4 Mei 2018>
Master Training. 2018. Cara Perhitungan PTKP Terbaru 2018.
<http://www.mastertraining365.com/cara-perhitungan-ptkp-terbaru-2018/ - diakses pada 4 Mei 2018>

Finansialku. 2017. PPh Pasal 17 (Pajak Penghasilan Pasal 17) Tarif, Cara Hitung dan Pelaporannya.

<https://www.finansialku.com/pph-pasal-17-pajak-penghasilan-pasal-17/ - diakses pada 4 Mei 2018>
Pajakku. 2016. Pemotongan PPh Pasal 21.
<https://pajakku.com/page/detail/1016/pemotongan-pph-pasal-21 – diakses pada 16 Mei 2018>
Hasibuan, Dony. 2013. Siapa saja Pemotong PPh 21, Apa Hak dan Kewajibannya?
<http://keuanganlsm.com/siapa-saja-pemotong-pph-21-apa-hak-dan-kewajibannya/ - diakses pada 16 Mei 2018>
Priangga, Maksum. 2009. Pengertian Dasar dan Ciri-Ciri Pajak – Definisi Pajak.
<http://maksumpriangga.com/pengertian-dasar-dan-ciri-ciri-pajak-definisi-pajak.html – diakses pada 16 Mei 2018>


Komentar